Wednesday, September 18, 2013

JURNAL HAJIKU

Catatan  buku jurnal hajiku

Buku Kecil yang selalu ku tulis saat berhaji
Kubuka, kembali kubaca, sebuah buku kecil sangat sederhana.
Disini,  kutulis seluruh perjalanan hajiku 7 tahun yang silam.
Saat aku menyadari, aku tak bisa menjamin hidupku.
Apakah besok masih sehat dan berumur panjang?
Ongkos Naik Haji yang telah dipersiapkan bapakku, mengendap lama sejak aku masih gadis. Bapakku menyiapkan ongkos haji pada setiap anaknya.
Sayang aku belum berangkat, sibuk mengurus rumah tangga.

PAK TUA PENJUAL PISANG

Perawakannya kecil, berkulit hitam terpanggang matahari.
Tubuhnya ringking dengan pikulan yang besar dan berat.
Pak tua itu, penjual pisang.
Aku merasa trenyuh melihatnya.
Spontan ia menunjuk sesisir pisang dengan jempolnya serta tersenyum dikatup rapat .  
"Sabaraha atosna, Pak?" tanyaku ramah dengan bahasa sunda.
Dia tidak menjawab, hanya menunjukan jarinya ke mulut.
"Hah!! lima belas rebu," Pisang kecil dan jelek segitu mahalnya
"Sepuluh rebu nya," tawarku didasari kasihan, paling dipasar Rp. 7.000,- juga dapet...
Dia tetap mengeleng, tetap pada harganya.
Ku pikir ini orang pasti bisu, di ajak bicara malah nunjukin mulutnya.
aku tau artinya ; saya tidak bisa bicara. Dengan niat syadaqoh, akhirnya kubeli pisang itu dan melaju dengan motorku. Di rumah pun pisang itu tergeletak di meja makan,  tidak ada yang berminat.

SENYUM ....


Aku gugup, benar-benar kikuk.
Sudah lama tidak buka-buku , apalagi pakai komputer.
Tak di sangka, aku lulus di PT. Inhutani II  unit HTI Palangka Raya, Kalimantan Tengah

Pertama masuk kantor, semua terasa asing di ruangan ini,
Tidak ada yang menyapaku.
Karyawati baru, begitulah  sorot mata mereka.
Semakin gelisah di wajahku,

Namun, senyum manis dari wajah bulat itu
Meneduhkanku, mengajak aku bicara
bahkan ia pun mengajariku  cara kerja.

BERKUMPUL SAUDARAKU, KAUM MUSLIMIN

Subuh dan dingin di Tanah Haram.
Jamaah tumpah ruah.
Sebuah pertemuan Akbar,
banyak bangsa, budaya, bahasa  dan warna
satu saudara, kaum Muslim seluruh dunia.
Sebuah Undangan dari Allah.
Karunia yang diberikan tuk semua orang
" Kami datang memenuhi panggilan-Mu Ya Allah "
" Labbaik Allahuma Labbaik "

BURUNG TINGGANG





Masihkah kudengar suara Tinggang.
burung besar setia pada pasangan,
masihkah ku lihat  terbang tinggi di angkasa.
... atau, kini hanya sebagai simbol belaka.
...atau pula, bulu indahnya sebagai penghias kepala.

Manusia, tlah mengorbankan segalanya.
Demi uang, hutan rimbaku menghilang.
Kemana, pohon pohon tinggi,
kini rata  sudah terganti,
pohon sawit merajarela.
.....Tinggang sayang, Tinggangku hilang
kemana lagi akan kucari


--------------------------------------------

Burung Tinggang nama dalam bahasa dayak Ngaju Kalimantan Tengah, ada pula yang menyebut Rangkong atau Enggang..  (bahasa Inggris , Hornbill)

Burung tinggang kelompok Bucerotidae, 57 spesies 9 diantaranya endemik dari Afrika Selatan.
Ciri burung ini mempunyai tanduk/cula yang besar seperti tanduk sapi, sehingga nama ilmiahnya adalah Buceros (bahasa Yunani) yang artinya tanduk sapi.
Paruh berwarna orange terang dan memakan buah ara dan binatang kecil.

Burung Tinggang lambang kasih sayang dan kesetiaan.

Burung ini hidup secara berpasangan, pejantan akan setia melayani betina yang bertelur dan membesarkan anaknya. Habitat burung Tinggang  pada pohon  tinggi dan membuat lubang pada tempat yang sama. Betina akan bertelur dan mengerami serta membesarkan anaknya, agar terhindar dari pemangsa, betina akan tetap didalam lubang.Lubang akan ditutup dengan lumpur yang menyisakan celah kecil untuk sang jantan memberi makan.
Pantaslah Burung Tinggang sebagai lambang kasih sayang dan kesetiaan.

Burung Tinggang, Burung sakral di Kalimantan.

Dalam Agama Hindu Kaharingan burung Tinggang mempunyai tiga makna,
Di  Lewu Batu Nindam Tarung ( Alam Atas ),  Tinggang Rangga Bapantung Nyahu; burung Tinggang salah satu penciptaan Raying Hatata Langit (Tuhan ) melalui wujud Luhing Pantung Tinggang (Destel) yang dipakai Raja Bunu ketika menerima Danum Nyalung Kaharingan Belum.

Bagi umat Hindu Kaharingan bulu ekor Tinggang (Dandang Tinggang) diyakini memiliki suatu kekuatan gaib yang menjadi pedoman hidup berdasarkan Lime Satahan ( Lima Pengakuan Iman).
Dandang Tinggang selalu ada dalam upacara Basarah sebagai sarana pelengkap di dalam Sangku Tambak Raja.
Dilihat dari  Filsafat Hindu Kaharingan, Dandang Tinggang (bulu ekor Tinggang) memiliki makna simbolik di dalam kehidupan umat manusia baik secara vertikal (Tuhan) dan horisontal (sesama manusia).
- Warna putih di bagian atas berarti Kekuasaan Raying Hatata Langit (Tuhan) berserta manisfestasi-manisfestasi-Nya.
-Warna hitam di bagian tengah berarti Alam kehidupan manusia di Pantai Danum Kalunen ( Dunia ) yang penuh cobaan dan rintangan.
-Warna putih di bagian bawah berarti Alam kekuasaan Jatha Balawan Bulau.

Burung Tinggang sangat di sakralkan dalam ritual di Kalimantan sehingga jika mati, maka tidak boleh dibuang dan bagian tengkorak kepala akan di simpan dijadikan hiasan kepala orang tertentu.
Dalam mitos keseharian di Kalimantan ,Alam Antang. Burung Tinggang di gambarkan penjelmaan Panglima Perang yang sangat agung, sakti dan berwibawa. Panglima Perang  atau Panglima Burung ini di percayai akan berbentuk manusia laki-laki yang akan muncul pada saat yang diperlukan.
Seperti Peristiwa Sampit dan Pontianak beberapa waktu yang silam tepatnya tahun 2000.
Dalam situasi yang genting dilakukan ritual Mangkuk Merah.Para Kepala suku akan berkumpul dan mencuri darah yang akan korban atau lawan dalam perang. Masing-masing prajurit yang siap bertempur mencium darah tersebut dan tidak heran, prajurit itu akan tau mana kawan dan mana lawan. Saat itu pula Panglima Perang akan muncul bersama memanggil Prajurit Dayaknya untuk turun gunung. Mereka akan berteriak (lahap) dengan nyaring serta mandau erat di pinggang.
Tak heran banyak korban kehilangan  kepala ( Ngayau) dan tepat sasaran. Dimanapun bersembunyi dan berbaur dengan masyarakat Prajurit Dayak itu akan tau siapa lawannya. Ngayau atau pemenggalan kepala dapat pila dilakukan tanpa terlihat orang atau mandaunya  akan menebas kepala tiba tiba secara kasat mata ( Perang Maya)..Percaya atau tidak.

Sekilas tentang Burung Tinggang yang kini kehilangan habitatnya.
Ternyata, nasib  Burung Tinggang sama dengan nasib orang Dayak yang semakin terpinggirkan di tanahnya sendiri...Menyedihkan.


*Aku Penulis Een Endahyuanah, dalam darahku mengalir darah Dayak Ngaju dari ibuku.
Keprihatinanku pada Burung Tinggang dan habitatnya menyadarkan ,
" Mari kita Jaga kelestarian Burung Tinggang di tanah Borneo"