Monday, March 25, 2019

Kisah si Liebe, Kucing Mencari Rumah Tinggalnya

Tulisanku tentang seekor kucing bernama Liebe.

1 tahun 2 bulan yang lalu

Aku melihatnya meminta makan di warung milik tetangga. Duduk di teras, kurus dan kotor. 
Matanya sendu, setiap kupegang dia seakan ingin disayang. 
Manja. Aku beri nama: Liebe Vermohnt. 


Campuran ras berwarna hitam putih. Aku tau, tak ada yang memberikan makan, nasi sisapun tidak, terlihat dari perutnya yang tipis. Aku juga mengira ini kucing peliharaan,terbukti sangat akrab dengan siapun. Ia dibuang.

Bergegas aku mengeluar dry food dari dalam tasku. Dia makan dengan lahap tanpa, sebentar-bentar berhenti, menoleh memandangku, lamaaa memandangku, mungkin ia ingin mengingat raut wajahku.

Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama
Aku berpikir, apa kucing ini aku bawa pulang saja. Dalam ingatanku, terbayang wajahnya yang sendu. Perlu waktu untuk menyesuaikan, kucing di rumah tipe galak semua untuk kucing baru. 

Untuk sementara aku biarkan di warung dulu. 
Seperti biasa, saban hari aku ke warung itu untuk memberinya makan. 
Dia tampak senang berada di warung itu. Dan berpesan: jangan dibuang. 

Warung berderet tiga pintu, milik sekeluarga berdiri di tanah orang. Aku harap bisa menerima Lieby.

Seminggu aku tak kemari karena pulang kampung, hanya berpesan pada anakku untuk memberikan kucing-kucing stray di sekitar sini.
Aku biasa ngobrol dengan pemiliknya sembari makan pisang goreng dan teh tawar.
Duduklah aku di deret bangku usang sambil menunggu Lieby, biasanya kalau melihatku datang, Lieby langsung duduk disampingku minta dibelai.

 "Buuuu, apa kucing bisa pulang lagi ya." 
Deg! Debar hatiku. 
Langsung aku melihat Liebe yang duduk di kakiku. "Kemarin, Liebe dibuang ya?" 
Yeni langsung menunduk,"Maaf ya Bu. Kemarin, Mpusnya mengeluarkan darah di kasur, ngumpal-ngumpal gitu." 
 "Terus dibuang? Kalian ini aneh, dia keguguran. Kucing sakit kok dibuang, bukannya dibantu untuk menyembuhkan. Sudah saya bilang, kalo ada apa-apa kasih tau ke saya. Apa seekor kucing membuat kalian miskin? Nggak kan. 
Oke, nanti Liebe saya steril. Dan saya bawa pulang saja." 

Begitulah aku, Bu Een mereka menyebutnya, kaya Macan kalo soal kucing, semua saya lawan. 

 *** 

Dua hari kemudian, Liebe berhasil aku steril. Kucing ini tak biasa bergabung dengan kucing lain di rumah. Ketakutan dan gelisah. Aku menaruhnya di loteng pasca steril. 

Sambil berharap, mudahan kucing ini betah, dan menjadi bagian keluarga di rumah. 
Sepuluh hari berlalu, Liebe tetap di loteng. Tapi....hari ke 11 dia berhasil melarikan diri dari loteng. 

Sedih betul rasanya. Kemana kucing ini pergi? . Setiap hari, aku mendatangi warung itu, siapa tahu dia kembali.
Liebe!
Liebeee
Saban kewarung, aku berteriak, edan tenan.

Hari ke tujuh.
Benar dugaanku, Liebe tidur melingkar di lantai tanah teras warung. 
Aku tak menyangka, untuk sampai ke warung ini dari rumahku, Liebe butuh waktu seminggu.

Baiklah, aku mengalah, tinggallah di sini jika itu yang Liebe mau sambil menitipkan dry food ke pemilik warung, rasanya berat sekali. Tapi mau bagimana lagi.

Seperti biasa aku datang memberi makan, Liebe berlari menyongsong kedatanganku. 
Berlari mendekat menyeberang jalan menghampiriku.
Dia selalu menungguku datang di pinggir jalan di samping warung.
Ketika aku hendak pulang, dia mengantarku ke sampai ujung jalan dan berhenti diujung jalan,memperhatikan arah aku pulang. 

Setiap hari. Itulah yang dilakukannya. 
Aku sedih, ingin aku bawa pulang, tinggal di rumah, tapi nyatanya Liebe memilih tinggal di warung

 *** 

Adalah kesedihan yang tak terucap, setiap aku melintas di tepi warung. 
Kucing itu tidur di luar, tak terbayang ketika hujan. Padahal apalah artinya jika Liebe dibolehkan masuk ke dalam warung. 
Nyatanya, Liebe tidur di luar, tak ada tempat hangat untuknya, sedih melihat. Mengutuki diri tak bisa membawanya pulang. 

Malam menjelang Ramadhan 2018.
Aku memanggil Liebe. 
Menaruh dry food di lantai teras warung. 
Ketika pemilik warung membuka pintu, Liebe langsung mundur, berdiam dipojok ketakutan. 
Aku pikir, dia pernah dipukul orang bapak ini. 

"Bu Een jangan naruh disini makanannya, soalnya suka berak sembarang." tegurnya, aku hanya diam, tapi rasanya seperti dihujam sembilu, sakit sekali.

Masa, warung yang di kelilingi kebon dengan tanah basah, tentu kucing memilih buang air di tanah itu dibanding teras.
ltu hanya alasan saja, bilang saja tak suka. 
Dan aku memang tak berhak memaksa. Aku tak berucap, diam saja. 
Aku hanya membatin, kalo ada apa-apa, keluarga ini selalu minta tolong ke aku, nitip kucing satuuu aja, banyak alasan. Tapiii, mau bagaimana, aku tak bisa memaksa kehendakku. 

Sepanjang jalan pulang, aku menangis. 
Seandainya mereka tau tentang keberkahan Allah. Mungkin saja rezeki itu datang dari memberi makan kucing. 

Sampai rumah aku menangis sejadi-jadinya, aku tak bisa mengatakan, bagaimana perasaan hatiku, begitu sedih, sakit sekali. 
Yang aku tau, sejak bulan puasa pertama sampai terakhir, gorengan di warung itu tak laku, kemudian tutup hingga sekarang.
Malah istri pemiliknya bertambah sakit-sakitan.
Aku tak tau kenapa jadi begitu. 

 *** 

Selepas lebaran. 
Aku masih memberi makan kucing-kucing tapi dipinggir jalan, di seberang warung dibawah lampu jalan, Memberi dry food untuk Liebe dan kucing stray lainnya. Jika hujan, aku menepi ke rumah kosong, suka takut, karena rada serem, takutnya kalo saya lagi jongkok memberi makan kucing, dibelakang ada yang ikutan jongkok, berbaju putih, makanya jarang sekali kalo nggak kepaksa. Aku suka memberi akan selepas magrib, supaya kucing-kucing tidur dalam keadaan kenyang.

Kata 'larangan' ngasih makan kucing tetap tergiang. Sejak itu pula aku tak pernah duduk di warung itu, baper banget.

Sekalipun begitu, aku membelikan 2 pak buku tulis untuk anak  pemilik warung, berpesan: "Ibu kasih beberapa buku pada anak di sekitar sini. Dengan syarat, sayangi kucing." 
Cover bukunya pun bergambar kucing. Sebagai edukasi aku kepada mereka, kalaau tak suka pada kucing jangan dibully. Sayangi makhluk ciptaan Allah. 
Sebenarnya sedikit kecewa,ternyata, tak mempan juga di sogok buku-buku itu, susah kalo  ggak suka itu, diapai  juga, tetap nggak suka. 
Menunggu keajaiban. Karena kejadian selanjutnya: Liebe tak ada di warung. 

Empat hari aku tak menemukan Liebe. Aku yakin, dibuang. Padahal aku berjanji akan memaksanya untuk tinggal di rumah selepas lebaran. Tapi...kemana kucing itu pergi. Bayangan wajahnya, menunggu di teras warung. Berlari kencang menyeberang jalan menyambut kedatanganku. Bayangan, betapa manjanya kucing itu. Makanya aku kasih nama Vermohnt, dalam bahasa Jerman: manja.  

Hari ke lima. 

"Mamaaa, ini Liebe." Teriak anakku. Lalu digendongnya kucing itu ke rumah. Nemu dekat rumah katanya. Masya Allah,Liebe berjalan empat hari untuk menemukan rumah kami. 
Dia memilih pulang ke rumah, bergabung dengan kucing lainnya. Tak henti-hentinya aku bersyukur. Ternyata, Kucing bisa milih. 

Hari itu juga, aku kasih makanan enak supaya betah. Aku taruh di dapur dan menyediakan pasir kucing di garasi. Pintu dapur aku buka, aku sedang mengujinya, apa minggat lagi (pintu luar semua ditutup) . 
Liebe tetap di dapur, tidur nyenyak di sana. Liebe sangat puntar, dia pup pip.pada tempatnya. Dia mulai beradaptasi di lingkungan rumah. Lolita yang galak pun santai saja menerimanya. . 

Legalah aku. "Liebe, di rumah aja, nggak boleh ke warung lagi ya." 
Sepertinya dia paham. Sejak hari itu, Liebe tak pernah minggat. 

Tetaplah di sini ya, Liebe. Tinggal bersama menghabiskan waktu. Doakan, Allah melimpahkan rezeki yang banyak dan kesehatan, agar bisa menjagamu. 


 Salam, aku yang bahagia. Bogor, 

No comments:

Post a Comment