Tuesday, August 22, 2017

Lebaran Terakhir

25 Juni 2017, 1 Syawal 2017

اللهُ أكْبَرُ, اللهُ أكْبَرُ, اللهُ أكْبَرُ
 لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ
 اللهُ أكْبَرُ وَِللهِ الحَمْدُ

"Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar, 
Laa illaa haillallah-huwaallaahuakbar
Allaahu akbar walillaahil hamd'."


" Allah maha besar Allah maha besar Allah maha besar, Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar Allah maha besar dan segala puji bagi Allah. "

Suara takbir mengaung di mana mana, hari kemenangan bagi kaum muslimin di seluruh dunia.

Udara sejuk di desa Cikalahang, menyambut kebahagian tak terhingga.
Dua hari kami anak, mantu, cucu keluarga alm Bapak H. Uu Suminta dan HJ. Ade Kusminie sudah datang satu persatu.
Kerinduan untuk pulang, tradisi mudik untuk menyambung tali silaturahim.
Apalagi, kami hanya punya satu orang tua saja, Mama.
Itulah mengingat rindu kami sebagai anak.

Sejak sehari sebelumnya, dapur sudah mengebul.
Aroma rendang daging buatan Mama menyeruak di kemana-mana. Ketupat siap direbus dan digantung agar tahan lam.
Selain rendang, di sediakan sop daging masak jawa, kue dan salad buah.

Pukul 06.00 Semua bersiap ke masjid Al Hidayah ds. Dukupundang. Masjid yang didirikan alm. Bapak.
Lebaran ini saya berhalangan, cukup dirumah mempersiapkan makanan.
Sebelum makan, di sunnahkan untuk makan terlebih dahulu, baru berangkat ke masjit untuk sholat Ied Fitri.

Mama menyuruh cucunya membawakan kursi untuk sholat.
Mama tidak kuat berdiri lama.
Alhamdulilah kami bisa bertemu kembali lebaran tahun ini.
.
.
.

Seusai sholat Idul Fitri, sebelum tamu datang, menjadi tradisi keluarga, kami berkumpul di ruang keluarga.

Mama duduk di kursi kayu panjang, anak-anak  akan berdiri menunggu giliran untuk saling bermaaf-maafkan. Biasanya kami saling mencium kiri dan kanan, berpelukan dengan erat. Sesuatu yang terjadi dua kali setahun saat lebaran.



Di mulai, dari kakak pertama, Hj. Ida Chandra dan suami Ir. Ismail Ginting, dua anak laki-laki, satu menantu dan satu cucu (cicit pertama Mama).
Dekapan yang tak akan terulang kembali
Selanjutnya, giliranku,  anak ke dua, Hj. Een dan anakku, Ica.
Aku memeluk Mama, lamaaa sekali utuk merasakan hangat dekapannya.
Meminta maaf padanya, sampai saat ini, belum bisa membahagiakan Mama.
Dan dari pancaran matanya, aku tau, Mama ingin aku berkeluarga kembali, secepatnya menemukan jodoh, pendamping hidup.

"Nanti Een pasti bahagia..." bisiknya di telinga saya.

Mama bilang, dalam setiap doanya, selalu mendoakan, kelak saya mendapat jodoh kembali, suami yang baik dan penuh kasih sayang. Insya Allah, semoga Allah men-ijabah doa Mama.
Mendengar kalimatnya, kembali, langsung aku menangis, terharu sekali. Kembali ku memeluknya, tak biasa, ada sesuatu yang aneh...ingin memeluk Mama, lamaaaa sekali.

Setelah keluargaku, dilanjutkan adik ke tiga, H. Deden dan si Bungsu keluarga H. Andi.
"Ayo foto dengan Mama," pinta mama menyuruh ke empat anaknya duduk di sebelah kiri dan kanan. 
Bergegas kami berfoto, karena susah sekali mengumpulkan kami berempat.

Tampak Mama tersenyum bahagia dengan empat buah hatinya
Seperti tradisi dari tahun ke tahun, di tempat yang sama, kami berganti berfoto keluarga.
Mama tersenyum saat di foto, wajahnya cantik sekali, bahagia berkumpul anak, mantu dan cucu.
4 anak, 3 mantu, 8 cucu, 1 menantu cucu dan 1 cicit.

Tahun ini, tahun ke 3 tak ada Bapak...alhamdullilah, kami sudah ikhlas atas kepergian Bapak.
Yang tak berubah selama 3 tahun ini, Mama tetap menyapa foto alm. Bapak setiap masuk kamar, "Kang..."
Mama tetap bercerita masa masa indah bersama Bapak dalam 44 tahun perkawinannya.

Selalu mengenang kekasih hati, selalu dan selalu. Beberapa hari ini, Mama lebih banyak bercerita tentang Bapak, tak biasa.
Malah, bulan Juni lalu, Mama bahagia sekali, saat saya mengucapkan ulang tahun ke 69 tahun padanya.
"Apa Mama bisa ya sampai usia 70 tahun." Tanyanya. Aneh mama, nih, jawabku
Mama selalu menghitung usianya tak lebih dari 72 tahun, karena alm ibunya meninggal di usia itu.
Umur tidak ada yang tau, semua rahasia Allah.
Mama tersenyum setiap mendengar kalimat itu.

Lebaran tahun ini, tak biasa, Mama tak menjahit baju baru seperti biasa, hanya menjahit bergo panjang berwarna abu-abu.
Tak ada yang aneh, semua seperti biasa,  dengan gembira kami  bercanda, kemudian menyantap makanan lebaran, rendang daging, ketupat dan soto daging.

Baju seragam yang kujahit sendiri, sangat serasi saat di foto dengan Mama.
Sebelum mudik, aku mencocokkan jilbab mana yang serasi dengan nuansa baju kami, hitam berpadu merah.

Jilbab hitam aku coba memaduka dengan baju lebaran.
"Kok hitam sih, Ma, seperti ada yang meninggal aja," protes Ica.
Langsung kuganti jilbab berwarna putih tulang.
Tak dinyana, itulah sebuah tanda, bahwa lebaran ini adalah lebaran kesedihan bagi keluarga kami.

Lebaran ini, lebaran terakhir.
Malaikat tak bersayap di dunia ini, kemudian berpulang ke Rahmatullah dengan begitu cepat.
Tak ada tanda seperti layaknya orang yang akan meninggal.
Tak ada sama sekali.


Lebaran 2017, yang akan saya tandai sepanjang hidup saya, lebaran terakhir mendekap erat Mama.
Ds. Cikalahang, Dukupuntang.



No comments:

Post a Comment