Sebuah tulisan bijak di buku yang kubaca hari ini.
"Kepercayaa itu ibarat kertas, jika ia diremas. Kepercayaan itu tidak akan kembali"
Kenapa mendadak aku rindu dengan kakak perempuanku?
Kukemas bingkisan untuknya, hanya makanan kecil.
***
Sedari pagi, rinai gerimis seakan tak ada akhirnya. Dengan sepeda motor, aku melaju ke rumah kakakku. Sudah lama tak berkunjung, ada terselip rindu dengannya. Rumah tempok dengan cat usang terkelupas. Suram. ..Aku mengibas rambutku yang basah sembari celingukkan. Rumah tampak begitu sepi tiada berpenghuni.
Seraut wajah dengan senyum lebar, susunan gigi yang sangat rapi.
Masih tersisa kecantikan di masa lalu, tersembunyi di balik badan tinggi besar. Mantan Model. Sayang, kegetiran hidup memendamkan kemolekkannya.
Mana sempat terpikir untuk merawat badan. Banyak pikiran. Anehnya, semakin stres, semakin nafsu makan meningkat...Bentuk pelarian yang tidak sehat.
Di balik tubuh besar yang di sangka orang 'bahagia', tersimpan hati yang kurus kering kerontang.
Eliani sudah hampir dua puluh tahun dikhianati suaminya. Kurus hatinya karena minum madu.
Madu? Istri-istri suaminya. Sebagai Istri pertama, dialah yang paling terpukul. Kasihan.
"Kepercayaa itu ibarat kertas, jika ia diremas. Kepercayaan itu tidak akan kembali"
Kenapa mendadak aku rindu dengan kakak perempuanku?
Kukemas bingkisan untuknya, hanya makanan kecil.
***
Sedari pagi, rinai gerimis seakan tak ada akhirnya. Dengan sepeda motor, aku melaju ke rumah kakakku. Sudah lama tak berkunjung, ada terselip rindu dengannya. Rumah tempok dengan cat usang terkelupas. Suram. ..Aku mengibas rambutku yang basah sembari celingukkan. Rumah tampak begitu sepi tiada berpenghuni.
Seraut wajah dengan senyum lebar, susunan gigi yang sangat rapi.
Masih tersisa kecantikan di masa lalu, tersembunyi di balik badan tinggi besar. Mantan Model. Sayang, kegetiran hidup memendamkan kemolekkannya.
Mana sempat terpikir untuk merawat badan. Banyak pikiran. Anehnya, semakin stres, semakin nafsu makan meningkat...Bentuk pelarian yang tidak sehat.
Di balik tubuh besar yang di sangka orang 'bahagia', tersimpan hati yang kurus kering kerontang.
Eliani sudah hampir dua puluh tahun dikhianati suaminya. Kurus hatinya karena minum madu.
Madu? Istri-istri suaminya. Sebagai Istri pertama, dialah yang paling terpukul. Kasihan.
"Memang jatuh cinta itu mudah, tapi untuk setia, itu luar biasa"
Eliani mulai mengobrol sembari mengigit tahu brontak yang kubawa.
"Jatuh cinta itu enak! sayang-sayangan. Semua terlihat terlihat manis. Cinta semu!"
Eliani mulai mengobrol sembari mengigit tahu brontak yang kubawa.
"Jatuh cinta itu enak! sayang-sayangan. Semua terlihat terlihat manis. Cinta semu!"
Sebagai seorang wanita, ia layak kusebut bidadari
Bidadari versi besar. Big is beautiful...no matter!
Bidadari versi besar. Big is beautiful...no matter!
Bagaimana tidak disebut bidadari. Berlapang dada, ketika suaminya menikah lagi, bahkan tiga atau juga empat orang wanita. Di akuinya, pada awalnya, sakit hati! menangis sampai air mata kering. Kemudian ia sadar, menangis darahpun tidak mengubah keadaan.
Sejalan dengan waktu Eliani menjadi terbiasa bahkan kini ia tidak perduli.
"Mau sepuluh wanita, silahkan!...aku enggak mikir! Aku enggak perduli lagi!
Yang penting. duit kemari!" jarinya menjentikkan, seakan uang datang.
Kadang aku berpikir terbuat dari apa hati kakakku ini? Sanggup menjalaninya.
"Cinta itu, bukan hanya ditabur. Ketika benih tumbuh, perlu disiram dan dipupuk. Begitulah seharusnya, agar cinta selalu bersemi. Cinta itu, bukan ditinggalkan begitu saja, ia akan menjadi layu dan mati.
Duluuu, aku cemburu dan menangis sepanjang hari setiap ia main perempuan. Bertengkar hebat dengannya. Akibatnya aku dimarahi, habis aku dimaki."
Eliani menarik nafas menahan gemuruh di hatinya.
Suami Eliani itu tidak pernah sadar, jika istri menangis, itu tandanya ia sangat mencintai dengan cemburu.
Kini, baru suaminya tau, setelah sekian tahun berlalu, tak lagi didapatinya, Eliani, sang istri menangis, bahkan berdebat pun malas, Eliani cenderung diam.
"Jangan salahkan, jika hatiku telah membatu, dan air mataku kering.
Itu tandanya hati dan cintaku tlah mati..."
Waktulah yang membuat hati seseorang belajar mengkondisikan keadaan.
Waktu pula yang membuat cinta tak bersemi lagi. Semua begitu hampa baginya.
Rumah tangga ini berjalan bagai perahu yang hanyut, mengikuti kemana air membawanya pergi. Hampa, hilang arah. Cinta yang susut termakan waktu.
Kepercayaan yang terkoyak, siapa yang harus dipersalahkan?
Jika manusia dapat membalikkan waktu, tentulah kondisi ini tidak akan diterima. Begitupula bagi Eliani. Kini ia sudah merasa tua, tidak ada lagi yang diharapkan. Hanya kebahagian dari anak cucu serta keluarganyalah, yang memberi tetes kesejukkan.
Kini, Eliani bahkan tidak rindu lagi dengan suaminya, karena jarak yang jauh menyebabkan suaminya jarang pulang. Eliani hanya ingat suami, ketika isi dompetnya kosong. Barulah ia menelpon.
Jika tidak, dimana, kemana, mau apa? Eliani tidak perduli lagi.
Begitu pula suaminya, kadang bisa dihitung dengan jari untuk menelpon Eliani.
Jika sang suami pulang ke rumah, di pantat terasa ada duri menusuk, tidak nyaman, lebih baik tidak usah datang saja. Apalagi ingin bercinta...Buang jauh-jauh keinginan itu,
Entahlah...mengapa hati ini bisa berubah. Apakah karena kepercayaan telah dirusak? Sekalipun menerima keadaan tetapi itu hanya teori, kepercayaan ibarat kertas, jika diremas dia tidak akan kembali sempurna seperti semula.
"Jagalah kepercayaan itu ya, Dik...Kamu, laki-laki,suami dan kamulah yang memegang kendali. Mau di niatkan, apa tujuan rumah tanggamu? semua terletak ditanganmu! "
Sebuah nasehat sederhana dari kakak perempuanku, antara sedih aku memandangnya. tetapi aku bahagia melihatnya.
Selalu...selalu ada senyum yang lebar menghiasi wajahnya
Senyum yang kadang, aku sendiri tidak tau apa artinya.
Oh! kakakku...Telah menemukan arti cinta sesungguhnya dari manis dan getir kehidupannya.
Dan aku, laki-laki serta suami. Tak akan kunodai kepercayaan istriku, sejak ijab kabul.
Akan aku jaga untuk selalu setia sampai ujung usia.
Bagaimana aku tega merusak kepercayaan itu.
Dari Eliani kakakku, aku tau itu sangat menyakitkan.
Tak akan sekalipun, kurusak kepercayaan itu.
Aku akan selalu setia mencintaimu, wahai istriku.
***
Sejalan dengan waktu Eliani menjadi terbiasa bahkan kini ia tidak perduli.
"Mau sepuluh wanita, silahkan!...aku enggak mikir! Aku enggak perduli lagi!
Yang penting. duit kemari!" jarinya menjentikkan, seakan uang datang.
Kadang aku berpikir terbuat dari apa hati kakakku ini? Sanggup menjalaninya.
"Cinta itu, bukan hanya ditabur. Ketika benih tumbuh, perlu disiram dan dipupuk. Begitulah seharusnya, agar cinta selalu bersemi. Cinta itu, bukan ditinggalkan begitu saja, ia akan menjadi layu dan mati.
Duluuu, aku cemburu dan menangis sepanjang hari setiap ia main perempuan. Bertengkar hebat dengannya. Akibatnya aku dimarahi, habis aku dimaki."
Eliani menarik nafas menahan gemuruh di hatinya.
Suami Eliani itu tidak pernah sadar, jika istri menangis, itu tandanya ia sangat mencintai dengan cemburu.
Kini, baru suaminya tau, setelah sekian tahun berlalu, tak lagi didapatinya, Eliani, sang istri menangis, bahkan berdebat pun malas, Eliani cenderung diam.
"Jangan salahkan, jika hatiku telah membatu, dan air mataku kering.
Itu tandanya hati dan cintaku tlah mati..."
Waktulah yang membuat hati seseorang belajar mengkondisikan keadaan.
Waktu pula yang membuat cinta tak bersemi lagi. Semua begitu hampa baginya.
Rumah tangga ini berjalan bagai perahu yang hanyut, mengikuti kemana air membawanya pergi. Hampa, hilang arah. Cinta yang susut termakan waktu.
Kepercayaan yang terkoyak, siapa yang harus dipersalahkan?
Jika manusia dapat membalikkan waktu, tentulah kondisi ini tidak akan diterima. Begitupula bagi Eliani. Kini ia sudah merasa tua, tidak ada lagi yang diharapkan. Hanya kebahagian dari anak cucu serta keluarganyalah, yang memberi tetes kesejukkan.
Kini, Eliani bahkan tidak rindu lagi dengan suaminya, karena jarak yang jauh menyebabkan suaminya jarang pulang. Eliani hanya ingat suami, ketika isi dompetnya kosong. Barulah ia menelpon.
Jika tidak, dimana, kemana, mau apa? Eliani tidak perduli lagi.
Begitu pula suaminya, kadang bisa dihitung dengan jari untuk menelpon Eliani.
Jika sang suami pulang ke rumah, di pantat terasa ada duri menusuk, tidak nyaman, lebih baik tidak usah datang saja. Apalagi ingin bercinta...Buang jauh-jauh keinginan itu,
Entahlah...mengapa hati ini bisa berubah. Apakah karena kepercayaan telah dirusak? Sekalipun menerima keadaan tetapi itu hanya teori, kepercayaan ibarat kertas, jika diremas dia tidak akan kembali sempurna seperti semula.
"Jagalah kepercayaan itu ya, Dik...Kamu, laki-laki,suami dan kamulah yang memegang kendali. Mau di niatkan, apa tujuan rumah tanggamu? semua terletak ditanganmu! "
Sebuah nasehat sederhana dari kakak perempuanku, antara sedih aku memandangnya. tetapi aku bahagia melihatnya.
Selalu...selalu ada senyum yang lebar menghiasi wajahnya
Senyum yang kadang, aku sendiri tidak tau apa artinya.
Oh! kakakku...Telah menemukan arti cinta sesungguhnya dari manis dan getir kehidupannya.
Dan aku, laki-laki serta suami. Tak akan kunodai kepercayaan istriku, sejak ijab kabul.
Akan aku jaga untuk selalu setia sampai ujung usia.
Bagaimana aku tega merusak kepercayaan itu.
Dari Eliani kakakku, aku tau itu sangat menyakitkan.
Tak akan sekalipun, kurusak kepercayaan itu.
Aku akan selalu setia mencintaimu, wahai istriku.
***
Bumi Seribu Masjid,1985.
No comments:
Post a Comment