Langit serasa berputar
Hitam kelabu,berkabut
Sakit tak terkira, antara hidup dan mati.
Sayup kudengar, "Kuat, dorong! sekali lagi."
tapi, sumpah! Aku tak kuat lagi!
Lubang jahanam! sakit di bawah perutku.
Tarikan napasku, sisa satu-satunya
dalam peluh tangisku kering.
Sejenak, napasku tak beraturan,
lahir sudah, tangisannya terdengar nyaring.
Oh! kini berakhir sudah.
(Ening mengatur napasnya, bulir airmatanya mengalir, antara sedih, dendam dan bahagia)
Sepuluh bulan yang lalu.
Lelaki muda, menyergapku di kebun kopi.
Di belakang vila mewah. Ia anak majikan Embu.
Jerit dan rontaku, tak ia dengar sedikitpun.
Aku tercabik, terhina.
Kebaya hijau pupus dan jarikku, satu-satunya jadi saksi bisu.
Yang kuingat, wajah lelaki tampan itu.
Seringai sinis, senyum kemenangan dan kepuasan.
Sungguh laknat!
Petaka apa untukku? dosa apa ini?
"Embu...", tangisku pecah dalam pelukannya.
Jemari tua keriput itu membelai, hanya diam.
Sekuat hati, ditahan jatuh airmatanya
"Oh! anakku", hanya kalimat itu yang terucap.
Berpelukan erat dalam duka tiada tara
(Tetaplah Ening ingat, makian itu!}
Kemarin sore, Nyonya majikan berkacak pinggang, ponggah!
"Tidak mungkin! masa anakku suka dengan anakmu, gadis kampung!"
Embu dan aku hanya tertunduk
"Nih! ambil!" dilemparnya segepok uang seratus ribuan.
Seraya menunjukku penuh geram, "kalau benar dia hamil! pakai uang itu, gugurkan!!!"
Embu beringsut mundur sambil mengajakku pergi, "Terima kasih, Nyonya"
Kamipun pergi, sang Nyonya hanya melongo memandang uang yang berserak di lantai.
"Biar kita miskin, tapi kita kaya di depan Allah. Lebih memiliki harga diri. Sabar, ya, Nak"
Hanya itu yang kuingat.
Memandang perutku yang membuncit.
Kebencianku, sebesar rahimku.
Kadang, kupukulli kasar, benci. Benciiii sekali!!!
(Ening terpaku, tatapnya nanar)
Tangis kecil pecah tak henti. memekak.
"Bayimu lapar, Nak" Embu menyodorkan bayi mungil berbedong kain usang.
Aku seketika menghindar, mengeleng gusar.
Rasa benciku tak terkira pada bapak anak itu.
Aku tak mau melihat wajah mungil itu! batinku
Embu memelukku lembut, kembali menyerahkannya dengan tangan gemetar.
Kulihat mata harap Embu,merayuku.
Ening menarik nafas kesal.
Digendongnya dengan kasar, terpaksa.
Tiba-tiba ada sesuatu yang mengalir didadanya.
Seperti embun dingin menusuk.
Rasa keibuannya menjelma, diteteki anaknya.
Bayi itu mengisap dengan lahap.
Oh! Anakku, matamu bagai kerlip bintang.
Aku memandangnya dengan sayang.
"Nak, kau tak berdosa, maafkan ibu", kupeluk dengan erat,
kucium berulang-ulang ,menyesali , rasa bersalah atas perlakuanku.
(Ening sadar, berapa bodohnya dirinya)
Wanita tua itu, Embuku. Ia mencurahkan hidupnya untuk Ening seorang.
Akupun lahir tanpa bapak. Lahir yatim!
"Takkan, ku sia-sia mata kerlipmu, Nak! Jadilah bintang dalam hidupku"
***
Bogor, 15 Oktober 2014
wah puisi yang indah, saya malah blm bisa buat puisi. hehe salam knal mak
ReplyDeleteterima kasih
Deletemantap..
ReplyDeleteterima kasih apresiasinya
Deletesaya yakin pastiii bisa. Salam kenal kembali mbak Agustinadian Susanti
ReplyDeleteterima kasih, Mas Aam Zhenni Alamsyah
ReplyDeleteCantiik (^-^)
ReplyDeleteterima kasih AM Insp
ReplyDelete