Pages

Wednesday, November 6, 2013

RUMAH KEMBAR BERPAGAR BESAR

       
Dua besek berkat pengajian walimatus butun dititipkan padaku untuk diantar ke rumah kembar. Biasanya  lima hari sekali aku pasti kemari. sudah dua minggu aku tidak bertandang karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku

Rumah kembar. Dua bangunan yang sama bentuknya cat berwarna putih bersih. Kusennya terbuat dari kayu jati. Dindingan di hiasi batu alam dengan atap tinggi. Knopi di teras rumah dihiasi bunga alamanda kuning, gaya rumah kolonial, bersih dan asri. Dulu pagar rumah itu ada dua seiring dengan waktu pagar berubah menjadi satu gerbang besar. Halamannya luas dengan rumput gajah mini, ada jalan setapak berbatu putih. Dikiri kanan kolam ikan tumbuh tanaman teratai.yang unik dari rumah ini.ke dua bangunan terpisah di hubungan dengan koridor beratap . Seingatku koridor ini dulu belum diberi dinding permanen seperti saat ini. Rumah yang ada sejak aku kecil tempat bermain di rumah pohon diatas sawo kecik bersama Aisya salah satu anak empunya rumah.


       Gerbang yang dipenuhi bunga kuning menambah keindahan rumah ini. Seraut wajah tua yang masih mensisakan kecantikan dan keanggunannya tersenyum ramah saat membuka pintu rumah, Tubuhnya yang berbadan sedang dengan rambut dicepol jepit berhias bunga mawar merah jambu. Sangat cantik walau sederhana. Sedari aku kanak-kanak sampai bersuami.  aku tetap memanggilnya Mami Dien.
"Nuhun geh  neng geulis. Mami nggak bisa ikutan pengajian. Mama Nancy darah tingginya kumat.batuknya juga meniiii karunya"
Aku sangat kenal dengan dialek Mami yang berbahasa campur Indonesia Sunda Jawa, padahal mami sudah lama tinggal di Sleman tapi logat Sundanya tetap menempel.itu ke khasan Mami.

"Eehhhh, ada Kiara,disambung batuk panjang. kering dan sangat gatal. Mami segera menepuk nepuk pundak wanita tertubuh gemuk dan pendek; dialah Bude Nancy.
Aku tidak terlalu akrab malah sungkan dengannya walau dia juga ramah tapi saat aku kanak-kanak mata Bude terlihat tajam sedang mami terlihat lembut. Apalagi Mami memanggilku berbeda dengan orang lain neng geulis. Katanya, ' aku sangat cantik'  aku pun memanggilnya 'Mami' dia bahkan kuanggap ibuku. Dengan yang lain ya, aku panggil 'Bude'.
"Maaf Bude. Baru sowan sekarang. katanya Bude sakit? "
"Ndak apa. Bude ngerti. Lha anak Bude; Sandra, Soraya, Serina, satupun nggak  datang. Maklum sibuk kerja.ngurus keluarga,  untung ada Aisya yang sering kemari "
Menyebut nama Aisya, wajah bude seakan merindukannya. Di banding ke tiga anak kandungnya, bude malah dekat dengan Aisya.
 "Nah ini, " Bude menunjukkan jarinya ada cincin emas bermata mutiara asli emas, "Aisya yang kasih "

 Aisya teman kecilku hingga kini. Aisya bahkan seperti saudara kandungku. Orangnya penuh kasih sayang.  ramah dan perduli. Aku anak orang tak punya. ia tak sombong seringkali berbagi sepotong roti isi daging buatan ibunya. Mami Dien.
Kami duduk sebangku, dulu rambut kami selalu dikat kepang dua oleh Mami. Mami selalu memberi hiasan rambut yang sama dipakai Aisya denganku. Yang ku tau Aisya anak satu-satunya bawaan perkawinan sebelumnya dan Mami tidak punya anak darinya Pakde Bambang,  sedang bude punya anak tiga dari Pakde Bambang semua perempuan. Aisya menyayangi Pakde dan  dua ibunya. Aisya penuh perhatian dan berbakti kepada orangtuanya. Hanya Aisya yang sering datang dan merawat ke dua ibunya padahal ia juga sangat sibuk.
Aku memandang ke dua wanita yang duduk dl hadapanku. Secangkir teh manis hangat dan sepirimh kue disediakan Mami.

"Mi...Mami dan Bude kok bisa akur bisa? " Pertanyaan yang kusimpan lama dan setelah aku dewasa bersuami baru aku berani.
"Biyen yaaa ora", malah Bude yang menyahut.sambil memandang Mami
"Duluuuu bude sakit hati dimadu Pakdemu..suakittt.malah mau bunuh diri. Padahal usia bude lebih enom limang taun dari Mami.,"
Kulihat mami menunduk.tapi secara fisik Mami lebih awet muda jauh dari Bude.
"Bude ini biar muda tapi penyakitan he he he.Yaaaa kaya ngini, tua sebelum waktunya "

       Mami seorang janda anak satu teman lama pakde. Cinta lama bersemi kembali
"Dulu rumah bude jauh disini tempat Mami. Mana pernah ketemu, Yo Mbakyu"
Bude memanggil Mbakyu pada Mami, padahal ia istri pertama pakde. sebalik ia di panggil  'dik'.

"Dua tahun dimadu. Bude sering sakit. Anak-anak masih  kecil suka pakde titip ke Mami. Semua Mami yang urus, ealahhhhh..,malah  ndak mau pulang. Katanya di rumah Mami enak, rumahnya besar makan selalu ada. Kebetulan bude sakit-sakitan,  juga sibuk kerja. Sedang Mami seratus persen dirumah dan merawat anak-anak. Hayahhhh, wong Mami ini janda kayaaaaaa. Orangtuanya kaya, tapi suaminya dulu suka main perempuan. Kasar. Suka main pukul. Lama-lama Bude jadi kasihan dan mulailah Bude membuka hati, menerima keadaan." sedikitpun mami tidak bercerita hanya senyum dikulum sejenak tertawa pelan.

"Mami-mu ini  biar juga madu Bude. Ealahhhh banyak jasanya" lanjut Bude.
"Memang semua ada hikmahnya. Waktu Pakde sakit menahun, berdua kami bahu membahu merawat Pakde. Saat Bude sudah habis energi, bergantian dengan Mami. Begitu sebaliknya juga dalam merawat anak" Bude bercerita sambil memandang kagum ke arah Mami.


" Rumah ini kok dinamakan rumah kembar? " tanyaku untuk melunasi penasaranku.

" Mami dan Bude seperti orang kembar, Geulis. Kamana mana Pakde selalu membawa kami berdua. tidak ada perbedaan. Atas usul Mami, dibangunlah rumah yang sama persis. Jadi pakde ndak kecapean mondar-mandir" sahut Mami, " kami sama-sama mencintai Pakde. Mengapa harus selalu cemburu? Berpanas hati juga tidak mengubah keadaan kan. Berdamailah dengan hati maka hatimu akan tenang dan ikhlas, "

Mami terlihat lebih matang dan bijaksana. Ia banyak mengalah dan bersabar.
Ia sadar betul akan posisi sebagai orang kedua, salah atau benar masyarakat selalu mencap sebagai wanita mengambil suami orang atau menari di atas kebahagian orang lain. Dengan kesantunan dan niat untuk meminta perlindungan, atas dasar cinta Mami membuktikan anggapan orang itu salah.
Nyatanya mereka bisa bersama sampai akhir usia. Berusaha akur. Cemburu itu selalu ada.
Tapi kini sopo sing dicemburui. Pakde, wong wis bali ra kembali.


" Untung ada Aami ya, Kiara. Coba kalo ndak ada, sapa sing merawat bude? Lha sakit-sakitan. Anak-anak, sibukkkk melulu. Boro-boro sebentar mampir. Haalahhhh, sejibun alasan. Hanya Aisya dan Kiara suka kemari "Bude menarik nafas sambil tersenyum memandangku.


Bersama kami menikmati secangkir teh hangat dan kue lumpur pandan buatan Mami.
Derai tawa mewarnai cerita mengingat kala aku masih kecil bergigi ompong atau cerita anak mereka yang sangat di rindukan.

" Kiara. Sering main kemari ya. Kan suamimu pulang  dua minggu sekali. Nginap disini aja, biar ndak sepi. Tau ndak? kalo ada Kiara bude kok tiba-tiba sehat " pinta Bude sebelum aku berpamitan pulang.

Kucium kedua tangan wanita tua itu. Mami membelai sayang lembut mesra di rambutku seperti masaku kecil dulu. Mami tetap tidak berubah. Ia bagai penganti ibuku yang wafat ketika aku masih kecil seusia Aisya dan Mami lah yang mencurahkan kasih sayang padaku, baju sekolah, daster dibelikannya yang sama dengan Aisya, Mamilah yang mengajari mengaji dan budi pekerti padaku.
Itulah alasanku sering datang kemari. Kalau tidak Aisya yang datang, Ya aku yang sowan, aku dan Aisya sama-sama terlahir tunggal..hingga kami berjanji untuk menjaga Mami, aku dan Aisya adalah sodara. Mami adalah ibu kami bersama.
Bangunan besar itu ku tinggalkan.
Rumah kembar, dimana didalamnya ada Mami dan segala yang mewarnai hidupku.
Aku merasa bagian dari rumah kembar itu.
Lambaian tangan Mami membuat ruang rinduku menjadi penuh dan tak terasa hampa lagi.


***
- Besek : tempat makanan terbuat dari anyaman bambu.
- walimatus butun : pengajian 4 bulan
- Meni karunya : sangat kasihan

No comments:

Post a Comment