Berteman, apalagi baru kenal, teman-temannya suami, tentu senangkan.Paling tidak ada teman untuk diajak ngobrol daripada kalo kumpul, nggak jadi 'nyamuk galau', mau mengigit takut digeplok, nggak mengigit dikira sombong.
Sekedar tau saja, aku berteman standarnya biasa (sedang-sedang saja): tak dekat tak pula jauh, intinya teman sebagai penyambung silaturahmi, tanpa niat yang lain.
Tak heran, suka aneh aja, teman suami, berteman dekatnya melebihi pasangan sendiri, sukaaa heran ran ran (geleng-geleng kepala).
Kalo nggak ketemu, seperti orang kegigit nyamuk, gatal, kalo nggak digaruk, gelisah, di garuk, puas, harus ketemuan. Suka anehhh, sebegitu dekatnya?
.
Mungkin latar belakang yang beda dua orang yang berbeda.
Dulu aku sangat mandiri, tidak tergantung dengan orang, suka-suka...(nggak punya uang, mending makan sama garam, daripada berhutang). Kebetulan, teman-temanku juga jarang minta ini itu, apalagi berhutang
Beda dengan suamiku, teman adalah segalanya, mereka adalah teman seperjuangan, penyimpan rahasia terbesar. Makanya, kami, dua orang yang.suka beda aliran.
.
Sangking dekatnya, apa-apa lossss aja minta ke teman, beliin baju merk itu, kutang ukuran itu, bahkan bayarin listrik, juga minta, berhutangpun lupa bayar. Apa sangking dekatnya?
Mendadak segala kemudahan itu hilang.
Lenyap, setelah tempat curhat, tempat berharap itu : berkeluarga.
Wajarlah, kini ada skala perioritas, lebih mementingkan keluarga dibanding orang lain.
Bukan pelit, tapi kebutuhan banyak.
.
Kembali, ke masalah hutang.