Sejak Bapak terkena stroke tahun 2013. Waktuku lebih banyak tinggal di Cikalahang untuk membantu Mama merawat bapak.
Apalagi Mama juga tidak begitu sehat, kedua orang tua penyandang diabetes, jadi perlu banyak perhatian.
Setiap mau pulang ke Bogor, aku berpamitan dengan bapak, selalu saja diiringi tangis cekukan (bapak berubah seperti anak kecil sejak sakit)
"Jangan lama-lama."
Itu pesannya, supaya aku cepat kembali ke Cikalahang. Kalau lama sedikit, sudahlah, bapak selalu telepon dan bertanya: kapan ke kampung?
Bulan Agustus 2014.
"Pak, Een pulang dulu, ya."
Bapak mengangguk, tak menangis seperti biasa.
Aku mencium pipinya, sambil meminta maaf. Bapak mengangguk-angguk di tempat tidur khusus di ruang tengah.
Tak ada tangis atau pesan cepat pulang, Een.
.
Empat hari kemudian, kabar dari kampung, jam 10 Bapak sudah berpulang ke Rahmatullah. Pergi untuk selamanya.
Tiba-tiba dunia berputar, aku lemas sekali.
Kalau aku tau tiba saatnya, tak akan aku pulang ke Bogor. Takdir berbicara lain.
Ternyata, empat hari yang lalu, adalah pamitanku yang terakhir kepada bapak. Pantas tak ada isak tamgis bapak seperti biasa, karena yang menangis keras saat ini adalah aku.
"Bapak sudah pulang..."
.
.
Tiga tahun kemudian