Menjadi anak sholehah.
Berguna bagi agama, dirinya sendiri, orang lain, itulah harapan semua orangtua.
.
Semenjak kecil anakku sangat keras sebagai anak tunggal.
Tidak terlalu dimanja karena sejak kecil karakternya sangat mandiri.
.
Tugas pertama setelah melahirkan (36 jam) sebagai Mama, memberikan nama terbaik.
Mendidiknya dari SD sampai SMP di sekolah Islam Terpadu, semua ku lakukan agar akar agama Islamnya tertanam kuat. Diajarkan ilmu agama sedari dini agar menjadi dasarnya kelak.
Saat SMA sengaja di sekolahkan di sekolah Umum negeri. Kelak dia harus tau ada lingkungan dan agama yang berbeda.
Susah payah menabung untuk kuliah di sekolah dua bahasa, Inggris dan Indonesia.
Kemudian, kembali pada anak itu sendiri.
Bagaimana dia membentuk dirinya, aku hanya berdoa.
Sebelum menikah, ia anak yang baik, bahkan dewasa. Semenjak aku berpisah.
Kami menjalani hidup dengan bahagia, menunjukkan kita bisa melalui bersama.
Kenapa setelah menikah dia berbeda?
Tak seperti dulu yang kukenal.
Tahun ini aku lebaran haji sendiri. Aku tak.masak.opor ayam seperti lebaran tahun lalu. Aku menyibukkan diri,.ikut menjadi seksi konsumsi, m.makan setelah sholat Idul Adha. Rame.yang antri makan, kesedihanku mendadak sirna.
Sebenarnya alasan tak pulang Lebaran haji, tak bisa kuterima, hanya karena suaminya kerja ( tak libur), Logikanya, Bisa kan anakku bisa pulang duluam, nanti suaminya.menyusul
Berapa sih, jarak Jakarta-Bogor, dekattt. Sebuah alasan yang membuat hati ini sakit. Tapi aku berusaha berdamai.
Inilah saatnya aku tak berharap lagi.
Mungkin dia merasa sudah milik suaminya.
Bahkan sikap kerasnya semakin menjadi-jadi.
Sebagai Mama, wajarlah menasehatinya agar berubah.
Kalo pulang ke Bogor, jangan tidur saja. Belajar...coba cuci pakaian kalian(biasanya ya aku, pakaian kotor ditinggal di pojok kamar, masa begitu). Sapu lantai dan lain, jangan menunggu disuruh.
.
Sebagai penjual produk sendiri, aku berharap anak, mantu juga suami mau membantu menjualkan. Hanya lewat Instagram(online)
Lamaa ku tunggu, tak ada reaksi, aku tetap berjualan sendiri.
Dulu, kalo jualan orang lain, anakku giat promosi.
Dia lulusan jurusan periklanan. Tapi untuk menjual produk Mamanya sendiri...Nonsense.
.
Aku menasehatinya di ruang keluarga, ia diam saja di dalam kamarnya.
Aku kemudian sholat dan tertidur sebentar.
.
Sudah kuduga.
Dusun (tidak sopan dalam bahasa Sunda).
Pergi tak pamit pada Mamanya.
Seprei dibiarkan, pakaian kotor disembunyikan (seperti biasa)
Perih hati ini.
Dinasehati demi kebaikan, langsung minggat.
Kesedihanku, rasa sakit diperlakukan begini, sudah terlalu sering.
Jika aku tau, Nak...dulu selagi muda, aku akan berusaha melahirkan anak yang banyak, biar beragam polah tapi bahagia.
Ini cuman satu, tapi sering menyakitkan hati.
Sampai saat ini, bahkan aku lingkar tanggal di dinding atas sikapmu, aku berhenti berharap.
Tak akan lagi berharap.
Silahkan semau hati merasa sudah lebih dewasa dan pintar.
.
Tak lagi
Tak lagi, Nak
Berharap darimu.
Kucari bekal, pundi-pundi akhiratku, tanpa banyak berharap.
Di dunia saja, sering melupakan Ibumu.
Apalagi kelak aku mati.
Mungkin menangis dan ingat cuman tiga hari.
.
Bogor, sehari menjelang hari Ibu...